
KLIK BORNEO – BERAU. Penjualan telur penyu sampai saat ini masih ditemukan. Peredarannya bahkan sampai ke Samarinda dan kota sekitar. Menurut Anggota DPRD Berau Sa’ga, merupakan indikator kelemahan pengawasan dalam system konservasi yang tengah dijalankan saat ini. Seperti ramai diberitakan media lokal, selain penangkapan penyu untuk diperdagangkan dengan cara diseludupkan keluar daerah, telur penyu juga menjadi barang dagangan meskipun secara sembunyi-sembunyi.
“Ini tentunya mencederai komitmen bersama untuk menerapkan Undang-undang konservasi, bagaimana mau konservasi kalau pelaksanaannya dilapangan seperti pengawasannya tidak maksimal,” ungkap Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini.
Munculnya pedagang-pedagang telur penyu ini menurutnya merupakan sebuah gambaran kegagalan konservasi yang dilakukan. Penerapan UU konservasi nomor 5 tahun 1990 untuk satwa penyu di Berau tidak berjalan maksimal, mengingat banyak pulau penghasil telur tidak dijaga sama sekali.
Anggota Dewan yang berasal dari wilayah pesisir ini meminta agar pelimpahan kesalahan tidak semata kepada pedagang. Melainkan perlu ditelusuri oknum-oknum yang bermain dalam praktek perdagangan telur penyu tersebut.
Sebab tidak menutup kemungkinan ulah sejumlah oknum itulah yang menjadi pintu keluar telur-telur satwa yang dilindungi ini. Apalagi sejak lama masyarakat pesisir tidak sepaham dan tidak setuju dengan system konservasi yang diterapkan saat ini.
Tanpa melibatkan masyarakat untuk ikut berperan serta bisa menjadi peluang monopoli oknum tertentu. Apalagi saat ini pengawasan tidak lagi bisa dilakukan oleh instansi daerah Berau karena dicabutnya kewenangan tersebut ke Provinsi.
Dirinya meyakini telur penyu yang dipasarkan merupakan telur yang berasal dari pulau penghasil telur di Berau. Dengan demikian menurutnya bisa dikatakan baik BKSDA maupun LSM yang menjaga gagal menjalankan amanah konservasi yang diberikan.
Dirinya berharap ada upaya untuk menyatukan persepsi antara pemerintah daerah,dengan BKSDA untuk menerapakan pola konservasi yang lebih baik kedepan. Merubah pola dengan kembali memberdayakan masyarakat yang sudah terbukti keberhasilannya dibandingkan dengan penanganan oleh BKSDA sendiri.
Sebab selain keterbatasan personil diyakini BKSDA juga tidak akan mampu melakukan pengawasan optimal pada seluruh pulau penghasil telur. “ Makanya berdayakan kembali masyarakat, Sebab berbicara konservasi kita pasti bicara apa sih yang dikonservasi, nah sekarang kita bicara penyunya bukan kawasannya, jadi dimanapun dia bertelur ya itulah yang dijagain bukan hanya pulau tertentu,” tandasnya. (Adv/Elton)